JAKARTA - Pada pekan lalu, tonggak berita utama dari Amerika Serikat kembali mengguncang pasar global. Investor dari berbagai belahan dunia sedang dilanda kegelisahan akibat ketidakpastian terkait kebijakan tarif dagang yang digalakkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Kebijakan ini dinilai berpotensi mengganggu anggaran federal AS dan memperburuk inflasi.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah tingkat imbal hasil surat berharga AS yang kini berada pada titik tinggi secara historis. Pemerintah AS berencana menurunkannya, namun langkah tersebut bukan melalui kebijakan suku bunga dari bank sentral AS. Penundaan penerapan tarif dari 4 Februari 2025 menjadi 30 hari ke depan telah diputuskan, seiring berlangsungnya negosiasi dengan Kanada dan Meksiko. Penundaan ini diharapkan untuk mendapatkan komitmen kedua negara tersebut dalam beberapa prioritas nasional AS, termasuk isu imigrasi ilegal dan pengawasan terhadap fentanil ilegal, yang kerap menjadi masalah karena masuk dari Kanada dan Meksiko ke AS.
Analis dari Ashmore Asset Management Indonesia menyatakan, "Tarif akan tetap menjadi salah satu alat negosiasi bagi AS untuk memperjuangkan tujuan nasional mereka," ditulis pada Senin, 10 Februari 2025.
Berdasarkan data impor tahun 2024, Amerika Serikat diharapkan mengimpor barang senilai USD 600 miliar dari Kanada, USD 400 miliar dari Meksiko, dan USD 500 miliar dari China. Jika tarif diterapkan tanpa negosiasi, AS dapat memperoleh pendapatan senilai USD 300 miliar dari tarif ini. Angka ini terdiri dari USD 150 miliar dari Kanada, USD 100 miliar dari Meksiko, dan USD 50 miliar dari China, yang mana menambah sekitar 6,1 persen terhadap pendapatan pemerintah federal AS tahun 2024 sebesar USD 4,92 triliun.
Kekhawatiran Inflasi dan Pergeseran Investasi
Ketidakpastian ini mengundang kekhawatiran investor global terkait potensi tekanan inflasi, yang berdampak pada peningkatan peralihan ke aset aman. Hal ini mendorong harga emas ke titik tertinggi sepanjang masa, sementara imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun tetap bertahan di angka 4,43 persen, jauh di atas rata-rata 10 tahun sebesar 2,5 persen.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menunjukkan tekad untuk menekan imbal hasil obligasi, sejalan dengan rencana fiskalnya yang dikenal dengan 3-3-3, di mana ia menetapkan target defisit menjadi 3 persen dari saat ini yang berdiri di angka 6,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Bessent mengatakan, "Ketika imbal hasil turun, tekanan ke atas pada imbal hasil obligasi global akan berkurang," menunjukkan pentingnya stabilisasi di sektor ini.
Di tengah ketidakpastian ini, dari dalam negeri, pasar saham Indonesia menunjukkan beberapa pergerakan positif, meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan. Saham blue chip tertentu masih menunjukkan pertumbuhan signifikan karena pergeseran fokus investor kepada saham yang memiliki fundamental kuat.
Analis pasar mencatat peluang investasi di perusahaan dengan fundamental kuat, mengingat perbedaan valuasi yang semakin lebar dalam lima tahun terakhir. "Melihat lima tahun terakhir, telah terjadi perbedaan valuasi yang semakin besar antara indeks saham utama Indonesia, dan ini menghadirkan peluang besar untuk berinvestasi pada perusahaan yang fundamental kuat karena mereka diperdagangkan pada valuasi yang secara historis murah," ungkap sumber yang tidak disebutkan namanya.
Selain dari saham, imbal hasil obligasi Indonesia juga menarik perhatian. Meskipun akhir-akhir ini mengalami tekanan ke bawah imbal hasil, potensi investasi tetap ada. Imbal hasil SRBI 12 bulan saat ini berada di 6,57 persen berdasarkan lelang terbaru, memberikan peluang strategis bagi para investor.
Dampak kebijakan perdagangan AS memang menimbulkan ketidakpastian, tetapi juga memperlihatkan celah-celah peluang investasi bagi mereka yang mampu membaca pergerakan pasar secara jangka panjang. "Secara keseluruhan kami melihat lingkungan saat ini sebagai peluang besar untuk tetap investasi sambil menikmati manfaat diversifikasi baik dalam saham dan obligasi," pungkasnya, menegaskan optimisme terhadap kondisi pasar saat ini.