JAKARTA - Dalam langkah yang mencerminkan ambisi besar untuk meningkatkan manajemen kekayaan negara melalui investasi efektif, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dijadwalkan pada 24 Februari 2025. Namun, pengumuman ini tidak luput dari kontroversi, karena menurut Wana Alamsyah, peneliti senior di Indonesia Corruption Watch (ICW), pembentukan Danantara dapat mengancam transparansi pengawasan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Risiko terhadap Transparansi Pengawasan Keuangan
Alamsyah menyoroti bahwa pengawasan keuangan pada BUMN yang akan tergabung dalam Danantara berpotensi semakin melemah. “BPK dan KPK tidak diberikan kewenangan melakukan upaya audit juga penegakan hukum. Implikasinya, potensi korupsi di BUMN yang tergabung di Danantara akan meningkat,” jelasnya.
Kekhawatiran ini tidak berangkat dari ruang kosong. Alamsyah memaparkan fakta bahwa persoalan korupsi telah kerap menjangkiti perusahaan pelat merah, bahkan tanpa adanya intervensi dari badan baru seperti Danantara. Pada periode 2016 hingga 2021 saja, setidaknya ada 119 kasus korupsi terpantau di sektor BUMN, yang mengakibatkan kehilangan keuangan negara lebih dari Rp 40 triliun.
Implikasi Hukum dan Kendala Pengawasan
Dengan kehadiran Danantara, menurut Alamsyah, penegakan hukum dalam kasus korupsi bisa menjadi semakin rumit. “Ini sangat krusial. Karena akan jadi celah besar bagi kelompok tertentu untuk meraup sejumlah dana untuk kepentingan pribadi,” lanjut Alamsyah menegaskan.
Pembentukan Danantara telah disahkan melalui Undang-Undang BUMN terbaru sejak 4 Februari lalu. Dibawah regulasi baru ini, audit keuangan tahunan BUMN akan dilakukan oleh akuntan publik, bukan lagi secara langsung oleh lembaga negara seperti BPK, kecuali ada permintaan khusus dari DPR atau pemeriksaan tertentu.
Tanggapan dari Parlemen
Anggota Komisi XI DPR RI, Harris Turino, juga menyatakan kekhawatirannya tentang pendekatan pengawasan baru ini. Menurutnya, karena modal awal BUMN adalah uang negara, maka pemeriksaan oleh BPK adalah suatu keharusan. “Masa tidak boleh diperiksa BPK?” ujarnya kepada Tempo di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 13 Februari 2025.
Selain itu, Turino juga menggarisbawahi bahwa kebijakan ini dapat mempengaruhi pendapatan negara dalam APBN 2025, terutama dari dividen BUMN. “Proyeksi penerimaan APBN dari setoran dividen tahun ini bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun,” ujarnya, menambahkan bahwa potensi risiko ini harus diperhitungkan secara matang.
Pernyataan Presiden Prabowo
Di tengah skeptisisme, Presiden Prabowo tetap optimis mengenai peluncuran Danantara. Dalam konferensi pers terkait kewajiban Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) di Istana Negara, Jakarta, Presiden mengungkapkan harapannya agar optimisasi pengelolaan BUMN bisa tercapai. “Optimalisasi pengolahan BUMN kita melalui konsolidasi ke dalam suatu dana investasi nasional yang akan kita launching pada 24 Februari yang akan datang yaitu Danantara,” tegasnya.
Melihat semua sisi isu tersebut, peluncuran BPI Danantara menjadi titik strategis yang memerlukan pengawasan ketat untuk memanfaatkan peluang ekonomi, sekaligus mengelola risiko yang mungkin muncul terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Pengawasan mendalam dari berbagai pihak, terutama masyarakat sipil dan lembaga anti-korupsi, menjadi sangat penting dalam fase penyeimbang ini untuk memastikan bahwa tujuan pembentukan Danantara menjadi positif dan berkelanjutan.