Produksi Batubara 2025 Optimis Tercapai di Tengah Tantangan Pasar

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 07:23:28 WIB
Produksi Batubara 2025 Optimis Tercapai di Tengah Tantangan Pasar

JAKARTA - Di balik ambisi besar pemerintah mendorong hilirisasi aluminium, terselip persoalan serius yang tidak bisa diabaikan: jejak emisi. Industri aluminium global saat ini menjadi penyumbang emisi terbesar kedua di sektor logam dan mineral setelah baja, dengan kontribusi sekitar 10% dari total emisi sektor tersebut. Dari total 7,2 giga ton setara karbon dioksida (GtCO?e) pada 2023, industri aluminium menyumbang setidaknya 720 metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCO?e) per tahun.

Indonesia, yang memiliki cadangan bauksit sebesar 2,8 miliar ton atau 10% dari total cadangan dunia, menempati posisi empat besar global. Dari sisi produksi, capaian 32 juta ton bijih bauksit pada 2024 menempatkan Indonesia di jajaran lima besar produsen dunia. Potensi ini diharapkan mampu memperkuat nilai tambah melalui pengolahan di dalam negeri, meningkatkan pendapatan negara, dan membuka lapangan kerja.

Namun, seperti diingatkan Direktur Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, hilirisasi aluminium saat ini masih bergantung pada batubara sebagai sumber energi utama. “Pemerintah perlu membuat rencana komprehensif perihal dekarbonisasi hilirisasi aluminium. Sehingga, program hilirisasi tidak menghambat upaya dekarbonisasi dan Indonesia bebas emisi 2060,” ujarnya dalam peluncuran laporan strategi dekarbonisasi industri tersebut pada Juli lalu.

Abdurrahman juga menyoroti ancaman kebijakan carbon border adjustment mechanism (CBAM) Uni Eropa yang akan berlaku pada 2026, di mana aluminium masuk sektor prioritas. Negara pengimpor seperti Jerman dan Prancis akan mengenakan tarif karbon pada produk berjejak emisi tinggi, yang berpotensi menjadi hambatan besar bagi produk aluminium berbasis energi fosil.

Daya Saing, Investasi, dan Risiko Ketergantungan Batubara

Menurut Abdurrahman, biaya produksi aluminium primer di Indonesia, khususnya PT Inalum, berada di kuadran pertama cost curve global, sejajar dengan produsen utama dunia. Kondisi ini memberi peluang bagi pemerintah untuk menghapus fasilitas tax holiday yang selama ini mengurangi penerimaan negara sekaligus menimbulkan tuduhan dumping. Ia juga mengusulkan larangan pembangunan PLTU captive berbahan batubara untuk smelter baru, serta peningkatan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) secara bertahap, termasuk kesejahteraan tenaga kerja dan transisi energi.

Dari sisi teknologi, ia menekankan perlunya mengadopsi solusi yang sudah terbukti secara teknis dan komersial, seperti pemanfaatan energi surya, penggunaan aluminium daur ulang—yang hanya membutuhkan 5% energi dibanding aluminium primer—serta optimalisasi digital dan predictive maintenance untuk mengurangi downtime dan biaya perawatan.

Meski pemerintah telah menghentikan ekspor bauksit sejak 2023 untuk mendorong pembangunan fasilitas pengolahan dalam negeri, Abdurrahman menegaskan bahwa keberhasilan hilirisasi tidak cukup hanya diukur dari nilai tambah industri. Pasar global juga menuntut nilai tambah dari sisi keberlanjutan lingkungan. “Tanpa green value, produk Indonesia akan kesulitan masuk pasar premium,” katanya.

Katherine Hasan, analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), menilai ketergantungan industri aluminium pada batubara saat ini memang masih terbatas, namun ada potensi peningkatan hingga 2,6 gigawatt. Ia mencontohkan PT Inalum yang menggunakan PLTA sebagai sumber energi, sementara PLTU masih ditemukan di Kalimantan Barat dan Riau.

Tren investasi baru juga menandakan potensi “booming aluminium” di Indonesia. Perusahaan besar seperti Tsingshan Holding Group, China Hongqiao Group Ltd, dan Shandong Nanshan Aluminum mulai membangun smelter dan pabrik pemurnian. Goldman Sachs memperkirakan kapasitas produksi aluminium nasional bisa naik hingga lima kali lipat pada akhir dekade ini, yang kemungkinan akan mendorong permintaan batubara jika tidak diantisipasi.

Energi Terbarukan dan Tantangan Teknis

Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP), melihat PLTA sebagai solusi potensial untuk industri aluminium. Contohnya di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, Inalum memanfaatkan PLTA Siguragura dan PLTA Tangga sebagai sumber energi. Namun, ia mengingatkan bahwa tidak semua aliran air dapat memenuhi kebutuhan besar industri ini.

Masalah lain muncul dari perbedaan daya saing dengan batubara. Industri aluminium berbasis PLTA tidak memperoleh subsidi harga bahan bakar yang dinikmati pembangkit batubara, sehingga kalah kompetitif. Selain itu, keterbatasan jaringan listrik PLN untuk menghubungkan PLTA dengan smelter juga menjadi hambatan, terutama jika jarak terlalu jauh atau umur operasi smelter tidak sebanding dengan umur infrastruktur yang dibangun.

Paul juga menegaskan bahwa bahkan dengan PLTA, emisi aluminium tetap besar. Salah satu sumbernya adalah efek anoda dalam proses elektrolisis aluminium, yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca perfluorokarbon (PFC) hingga setara 10.000-11.000 GtCO?e. Untuk itu, diperlukan upaya teknis untuk mengendalikan dan mengurangi efek ini agar transisi energi di sektor aluminium benar-benar berjalan efektif.

Dengan potensi cadangan bauksit yang besar dan peluang pasar yang terus berkembang, Indonesia memiliki modal penting untuk menjadi pemain utama aluminium dunia. Namun, tanpa strategi dekarbonisasi yang jelas dan komitmen pada energi bersih, ambisi hilirisasi bisa berbenturan dengan tuntutan pasar internasional dan kebijakan iklim global.

Terkini