JAKARTA - Rencana pemerintah menyesuaikan iuran BPJS Kesehatan mulai tahun 2026 menjadi sorotan penting dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Kebijakan ini tidak hanya menyangkut keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi juga mencerminkan komitmen negara untuk menjaga akses layanan kesehatan tetap terjangkau bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penyesuaian iuran dilakukan untuk memastikan keberlangsungan sistem jaminan kesehatan yang manfaatnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurutnya, semakin banyak manfaat yang ditanggung, maka biaya yang dibutuhkan juga bertambah besar.
“Sustainability dari jaminan kesehatan nasional akan sangat tergantung pada berapa manfaat yang diberikan untuk kepesertaan. Kalau manfaatnya makin banyak biayanya semakin besar,” ujar Sri Mulyani.
- Baca Juga KUR BRI 2025: Cicilan Rp56 Ribu Per Hari
Subsidi Tetap untuk Peserta Mandiri
Penyesuaian iuran yang direncanakan pemerintah tidak serta-merta membebani seluruh peserta. Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan iuran akan dibarengi dengan tambahan alokasi anggaran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Dengan demikian, peserta yang termasuk kategori mandiri tetap akan mendapatkan subsidi sebagian dari pemerintah.
“Waktu keputusan menaikkan tarif BPJS memutuskan PBI dinaikkan artinya dari APBN tapi yang di mandiri ga dinaikkan maka memberikan subsidi sebagian. Dari mandiri itu masih di Rp 35 ribu seharusnya Rp 42 ribu jadi Rp 7 ribu nya dibayar pemerintah terutama PBPU,” jelasnya.
Dalam RAPBN 2026, anggaran kesehatan dialokasikan sebesar Rp244 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp123,2 triliun diperuntukkan bagi layanan kesehatan masyarakat. Porsi terbesar adalah untuk subsidi iuran JKN, yakni sebesar Rp69 triliun. Anggaran ini mencakup 96,8 juta peserta PBI serta 49,6 juta peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Sri Mulyani menambahkan, pembahasan rinci mengenai skema penyesuaian iuran masih akan dilakukan lintas kementerian dan lembaga. “Kami akan prosesnya membahas dengan Menteri Kesehatan dan BPJS Kesehatan karena itu lembaga yang memandatkan untuk membahas,” ujarnya.
Tantangan: Belanja Kesehatan Terus Meningkat
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti fakta bahwa iuran BPJS Kesehatan tidak mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir sejak 2020. Padahal, belanja kesehatan masyarakat terus meningkat dengan rata-rata kenaikan sekitar 15% per tahun.
“Sama saja kita ada inflasi 5%, gaji pegawai atau menteri tidak boleh naik selama 5 tahun, itu kan agak menyedihkan juga kalau kita bilang ke karyawan atau supir kita gak naik 5 tahun padahal inflasi 15% kan enggak mungkin,” ujar Budi dalam salah satu pernyataannya di DPR.
Data menunjukkan, belanja kesehatan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2018, total belanja kesehatan tercatat Rp421,8 triliun dan naik menjadi Rp448,1 triliun. Pada 2022, angka ini sudah mencapai Rp567,7 triliun dan bertambah menjadi Rp614,5 triliun pada 2023, atau naik 8,2%.
Menurut Budi, kondisi ini tidak sehat karena pertumbuhan belanja kesehatan jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang rata-rata hanya sekitar 5% per tahun selama satu dekade terakhir. “Kita hati-hati bapak ibu bahwa pertumbuhan belanja nasional itu selalu di atas pertumbuhan GDP, itu akibatnya tidak sustain bapak ibu,” tegasnya.
Menjaga Keseimbangan Sistem Jaminan
Dengan kondisi tersebut, rencana penyesuaian iuran BPJS Kesehatan menjadi langkah yang dianggap perlu demi menjaga keseimbangan sistem jaminan sosial nasional. Pemerintah menegaskan bahwa fokus utama tetap pada perluasan cakupan peserta serta jaminan agar masyarakat berpenghasilan rendah tetap terlindungi.
Kesehatan sebagai salah satu prioritas pembangunan menuntut adanya keberlanjutan pendanaan yang stabil. Penyesuaian iuran diharapkan mampu mengurangi tekanan anggaran di tengah meningkatnya permintaan layanan kesehatan, sekaligus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan tetap berkualitas dan merata.