
JAKARTA - Kondisi harga gabah yang tengah melambung di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, musim tanam gadu tahun ini menghadirkan dua wajah berbeda di lapangan. Di satu sisi, para petani merasa lega sekaligus bahagia karena harga jual gabah mereka mampu memberi keuntungan. Namun, di sisi lain, pemilik penggilingan padi, khususnya yang berskala kecil, justru menghadapi tekanan berat karena margin usaha semakin menipis.
Fenomena ini memperlihatkan kontras antara euforia petani dan kesulitan pengusaha penggilingan padi yang menjadi bagian penting dalam rantai produksi beras nasional.
Senyum Petani Menyambut Lonjakan Harga
Baca Juga
Menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang, harga gabah kering panen (GKP) saat ini berada di kisaran Rp7.500 sampai Rp8.500 per kilogram, jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) yang hanya Rp6.500 per kilogram. Sementara itu, harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani bahkan mencapai Rp8.500 sampai Rp9.000 per kilogram.
“Petani sekarang ini senang, sedang menikmati harga gabah yang tinggi,” ujar Sutatang.
Ia menjelaskan, kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh minimnya luas panen di Indramayu. Hingga pertengahan Agustus, wilayah yang sudah panen baru meliputi Kecamatan Kroya, Gantar, Haurgelis, dan Pasekan. Tidak meratanya masa tanam akibat kendala pasokan air menyebabkan panen pun tidak berlangsung serentak.
“Dulu tanamnya tidak serentak karena terkendala pasokan air. Jadi panennya juga tidak serentak,” ucapnya.
Kondisi ini membuat tengkulak bergerak cepat. Banyak di antara mereka mendatangi sawah-sawah petani untuk membeli gabah secara langsung. Bahkan, ada yang memberikan uang muka sebelum panen agar gabah tidak dijual ke pembeli lain. Bagi petani, pola ini memberi kepastian pasar sekaligus menjaga harga tetap tinggi.
Usaha Penggilingan Padi Terjepit
Berbeda dengan petani, para pemilik penggilingan padi, khususnya yang berskala kecil, justru menghadapi situasi sulit. Tingginya harga gabah tidak diikuti dengan kenaikan harga beras di pasar yang sebanding. Akibatnya, biaya produksi tidak tertutup dan banyak penggilingan terpaksa berhenti beroperasi.
Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Kabupaten Indramayu, Fuad, menuturkan bahwa dulu jumlah penggilingan padi di daerahnya mencapai sekitar 1.200 unit. Namun kini jumlah tersebut turun menjadi hanya 800 sampai 900 unit.
“Banyak yang tutup, ada juga yang buka tutup, bahkan ada penggilingan padi yang beralih fungsi jadi gudang, distributor sembako dan snack, bahkan bengkel,” kata Fuad.
Ia mencontohkan, harga gabah di tingkat petani kini mencapai Rp8.500 per kilogram. Dengan asumsi rendemen beras 60%, seharusnya harga beras di pasar mencapai Rp14.200 per kilogram. Namun, harga jual beras yang berlaku hanya Rp13.400 sampai Rp13.500 per kilogram.
“Jadi ya harganya gak ketemu. Itu juga belum termasuk risiko giling, upah pekerja, karung, ongkos kendaraan,” jelas Fuad.
Situasi ini sudah berlangsung sekitar tiga hingga empat tahun terakhir. Agar tetap bertahan, sebagian pemilik penggilingan memilih menjual beras langsung ke pasaran di Jakarta. Padahal sebelumnya, hasil gilingan mereka biasanya ditampung terlebih dahulu oleh pabrik besar sebelum masuk pasar ibu kota.
“Sekarang mereka langsung jual ke Jakarta,” imbuh Fuad.
Antara Harapan dan Tantangan
Kondisi yang terjadi di Indramayu mencerminkan dinamika kompleks dalam ekosistem pangan nasional. Ketika harga gabah tinggi, petani memperoleh keuntungan besar. Namun di sisi lain, mata rantai berikutnya dalam pengolahan pangan justru menanggung beban karena struktur harga tidak seimbang.
Jika situasi ini berlangsung lama, dikhawatirkan akan berdampak pada berkurangnya jumlah penggilingan padi, yang justru menjadi tulang punggung ketersediaan beras. Penurunan jumlah penggilingan juga berpotensi memengaruhi distribusi beras di pasar dan menimbulkan ketidakstabilan harga di masa mendatang.
Bagi petani, momentum tingginya harga gabah tentu menjadi kabar menggembirakan setelah menghadapi berbagai tantangan produksi, mulai dari keterbatasan air hingga biaya produksi yang terus naik. Namun bagi pengusaha penggilingan padi, kondisi ini justru menjadi alarm untuk segera mencari solusi agar rantai usaha tetap bertahan.
Lonjakan harga gabah di Indramayu tahun ini menyajikan ironi. Petani tersenyum lebar menikmati hasil jerih payah mereka dengan harga jual yang menguntungkan. Namun, di saat bersamaan, penggilingan padi skala kecil harus berjuang keras menghadapi tekanan biaya dan rendahnya margin keuntungan.
Jika tidak ada langkah strategis untuk menyeimbangkan harga antara gabah dan beras, maka kesenjangan ini bisa terus melebar. Petani tetap diuntungkan, sementara penggilingan padi yang berfungsi vital dalam rantai pasok pangan terancam semakin berkurang.
Keseimbangan dalam ekosistem pertanian dan pangan menjadi kunci, agar semua pihak mulai dari petani, penggilingan padi, hingga konsumen akhir dapat sama-sama memperoleh manfaat yang adil.

Nathasya Zallianty
wartaenergi.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
15 Rekomendasi Kuliner Semarang yang Enak dan Legendaris
- 06 September 2025
2.
10 Rekomendasi Merk Printer Terbaik Sesuai Kebutuhanmu
- 06 September 2025
3.
12 Contoh Bisnis Jasa yang Menghasilkan Keuntungan Tinggi
- 05 September 2025
4.
Daftar Terbaik Mobil 2 Pintu Paling Direkomendasikan
- 05 September 2025
5.
Inilah Besaran Gaji Pensiunan PNS 2025, Adakah Kenaikan?
- 04 September 2025