JAKARTA — Dalam langkah signifikan untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar energi global, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan akan mewajibkan para pelaku usaha batu bara untuk menggunakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) dalam transaksi ekspor. Kebijakan ini direncanakan akan dituangkan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM dan diimplementasikan dalam waktu dekat.
Selama ini, eksportir batu bara cenderung menggunakan harga pasar global yang umumnya lebih rendah dibandingkan dengan HBA. Hal ini diakui Bahlil sebagai salah satu kendala yang menghambat daya saing industri batu bara Indonesia di pasar internasional. Dengan penerapan kebijakan baru ini, Bahlil optimis bahwa industri batu bara dalam negeri akan menjadi lebih kompetitif dan mampu memainkan peran lebih besar.
"Tidak dalam waktu lama lagi, kami akan mempertimbangkan untuk membuat Keputusan Menteri agar harga HBA itulah yang dipakai untuk transaksi di pasar global," ungkap Bahlil.
Untuk bulan Januari 2025, HBA ditetapkan pada angka US$124,01 per ton, lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga batu bara Newcastle yang berada pada posisi US$116,79 per ton. Selisih harga ini, yang berkisar antara US$7,5 hingga US$29 per ton, menjadi motivasi kuat bagi pemerintah untuk memaksakan penggunaan HBA sebagai standar transaksi ekspor.
Selain itu, Bahlil menegaskan bahwa kepatuhan terhadap kebijakan ini bersifat wajib bagi seluruh eksportir nasional. Setiap pelanggaran akan direspons dengan tegas oleh Kementerian ESDM melalui pencabutan izin ekspor. "Kalau tidak mau, kita ambil izin ekspornya. Masak harga batu bara negara kita dibuat lebih murah ketimbang negara lain? Masak harga batu bara kita ditentukan negara lain," tegasnya.
Selama ini, harga batu bara dalam negeri dipengaruhi oleh beberapa indeks, salah satunya adalah Indonesia Coal Index (ICI). Namun, mengingat status Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara terbesar dunia, Bahlil berpendapat Indonesia seharusnya dapat menjadi penentu harga di pasar global, bukan hanya sekedar pengikut.
Fakta terbaru menunjukkan, sepanjang tahun 2024, volume ekspor batu bara Indonesia mencapai 555 juta ton, dengan tren peningkatan yang stabil. Di sisi lain, konsumsi batu bara dunia tercatat di kisaran 8-8,5 miliar ton, sementara yang beredar di pasar global hanya 1,5 miliar ton, menandakan defisit 7-7,5 miliar ton. Situasi ini memberikan Indonesia peluang besar untuk mengontrol harga batu bara di tingkat global.
Bahlil menekankan bahwa Indonesia harus memanfaatkan posisi strategis ini untuk meraih keuntungan maksimal. Apabila tekanan harga batu bara global terus berlanjut, Bahlil tidak menutup kemungkinan akan mempertimbangkan langkah-langkah strategis lainnya, termasuk membatasi ekspor batu bara.
"Jadi batu bara kita ini betul-betul berdampak masif dan terstruktur. Kalau harga kita ditekan terus, tidak menutup kemungkinan kita berpikir lain," katanya menambahkan.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat kedaulatan energi nasional dan memastikan Indonesia mendapatkan manfaat maksimal dari sumber daya yang dimiliki. Dengan kebijakan ini, diharapkan bukan hanya harga batu bara Indonesia yang bisa lebih kompetitif, tetapi juga memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
Bahlil berharap agar seluruh pemangku kepentingan di industri batu bara dapat mendukung penuh kebijakan ini demi menciptakan ekosistem industri yang lebih berdaya saing dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dalam negeri.