JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto diharapkan menerjemahkan visi transisi energi, khususnya target PLTS 100 GW, ke dalam kebijakan nyata dalam empat tahun ke depan. Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) menilai tahun pertama pemerintahan lebih banyak diwarnai pernyataan visi daripada tindakan konkret.
Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, menekankan bahwa ambisi Indonesia mencapai 100% energi terbarukan pada 2035 harus diterjemahkan menjadi kebijakan dan kerja lintas kementerian. Implementasi target PLTS 100 GW, yang sebagian besar direncanakan di desa, harus segera dirancang agar tidak hanya menjadi target di atas kertas.
Tata menilai target 100 GW energi surya sangat mungkin dicapai jika strategi implementasi dilakukan dengan tepat. Setiap desa hanya memerlukan sekitar 1,5 hektare lahan untuk sistem agrovoltaic, sehingga tidak mengganggu fungsi pertanian.
Dua Provinsi Kunci Jadi Pusat Energi Surya
Dalam empat tahun pertama, Sustain merekomendasikan minimal dua provinsi utama menjadi pusat energi surya nasional. Penetapan provinsi kunci ini bisa menjadi model bagi pengembangan PLTS di daerah lain secara bertahap.
Langkah ini juga mendukung pengurangan beban subsidi listrik yang membengkak hingga 10,4% menjadi Rp75,8 triliun pada 2024. Menurut Tata, pengembangan PLTS yang masif dapat mengurangi ketergantungan pada listrik bersubsidi sekaligus mendorong energi bersih.
Lima Kebijakan Konkret Untuk Percepatan PLTS
Sustain merekomendasikan lima kebijakan utama untuk mencapai target 100 GW. Pertama, kebijakan dan insentif yang jelas agar harga energi surya lebih kompetitif dibandingkan batubara.
Beberapa opsi insentif dapat berupa pembebasan denda, penyediaan lahan gratis, dan tarif pembelian listrik yang menarik, misalnya USD 20 sen/kWh. Sinkronisasi dengan dokumen energi nasional seperti KEN, RUKN, dan RUPTL sangat penting agar strategi berjalan konsisten.
Kedua, pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat, daerah, dan kementerian terkait. Hal ini memastikan koordinasi yang tepat dan mencegah tumpang tindih kebijakan.
Ketiga, perbaikan tata kelola sebagai fondasi kesuksesan proyek nasional PLTS. Tata kelola yang baik akan mempercepat perizinan, meminimalkan risiko proyek, dan meningkatkan kepercayaan investor.
Keempat, pengembangan rantai pasok domestik untuk industri panel surya. Upaya ini tidak hanya mendukung proyek PLTS, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal.
Kelima, pendanaan inovatif di luar APBN untuk memulai pembangunan PLTS 100 GW. Sustain menyoroti opsi peningkatan pungutan produksi batubara yang dapat menambah penerimaan negara hingga Rp84,55 triliun–Rp353,7 triliun per tahun.
Optimisme dari Kesuksesan Industri Lain
Sustain mencontohkan industri kendaraan listrik (EV) sebagai bukti bahwa insentif yang tepat mampu mempercepat transisi energi. Dengan dukungan regulasi dan insentif, industri dan konsumen merespons cepat sehingga pertumbuhan lebih pesat dari perkiraan.
Tata menegaskan, dana hasil pungutan produksi batubara dapat digunakan untuk pembangunan PLTS sekaligus menyerap tenaga kerja. RUPTL 2025-2034 memperkirakan proyek PLTS 17 GW bisa menciptakan 348.057 peluang kerja, menunjukkan potensi sosial-ekonomi yang besar.
Selain itu, pengembangan PLTS di tingkat desa mendukung pemerataan energi bersih ke seluruh pelosok. Strategi ini memaksimalkan pemanfaatan lahan terbatas sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Pemerintah juga perlu mempercepat pengembangan energi surya sebelum 2029, meskipun RUPTL PLN 2025-2034 menargetkan 17,1 GW setelah tahun tersebut. Percepatan ini menjadi kunci untuk mencapai ambisi 100 GW sesuai visi transisi energi nasional.
Penguatan koordinasi antar kementerian, regulasi yang jelas, dan dukungan insentif diyakini akan mendorong proyek PLTS berjalan lebih cepat. Sustain menekankan bahwa percepatan ini tidak hanya mendukung target energi, tetapi juga menciptakan efek ekonomi positif bagi masyarakat.
Peningkatan kapasitas PLTS di dua provinsi kunci dapat menjadi pilot project bagi daerah lain. Keberhasilan ini nantinya menjadi bukti nyata bahwa target 100 GW dapat diwujudkan dalam waktu empat tahun.
Optimalisasi agrovoltaic di desa juga memberi peluang untuk integrasi pertanian dan energi bersih. Hal ini menambah nilai ekonomi lahan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Dengan implementasi kebijakan konkret, pemerintah dapat menahan beban subsidi listrik yang membengkak. Proyek PLTS masif juga mendorong diversifikasi energi dan mengurangi emisi karbon.
Momentum Transisi Energi Nasional
Sustain menekankan bahwa empat tahun pertama pemerintahan adalah periode krusial untuk menerjemahkan visi PLTS 100 GW. Tanpa langkah konkret, target ambisius hanya menjadi janji tanpa realisasi.
Kolaborasi pemerintah, investor, dan masyarakat akan menjadi kunci sukses transisi energi. Implementasi kebijakan yang tepat, efisiensi, dan inovasi pendanaan akan memastikan target PLTS 100 GW tercapai tepat waktu.