JAKARTA - Perundingan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat menjadi sorotan para pelaku usaha, terutama terkait produk minyak kelapa sawit (CPO). Tantangan utama adalah memastikan CPO bisa bebas dari tarif impor 19% yang berpotensi menekan ekspor dan daya saing nasional.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dijadwalkan terbang ke AS pada Kamis, 18 Desember 2025, memimpin tim negosiator dan bertemu dengan Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer. Salah satu agenda utama adalah memastikan sawit dikecualikan dari tarif tinggi, sebelum kesepakatan dagang resmi ditutup.
Harapan Dunia Usaha
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menekankan bahwa pengusaha menginginkan tarif ekspor serendah mungkin, tidak hanya untuk sawit, tetapi juga untuk komoditas ekspor unggulan lainnya. "Idealnya, kita bisa memperoleh pengecualian tarif dan bahkan tarif 0% untuk top 10-20 komoditas ekspor Indonesia ke AS," ujarnya.
Shinta juga menyoroti produk bernilai perdagangan tinggi seperti garmen berbasis kapas AS. Produk dengan kandungan nilai lokal memadai di Indonesia perlu dilindungi agar tidak dikategorikan sebagai transhipment dari negara lain.
Sawit: Tulang Punggung Ekonomi
Sekretaris Jenderal Hipmi, Anggawira, mengingatkan bahwa sawit bukan sekadar komoditas dagang, tetapi tulang punggung ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan keseimbangan neraca perdagangan. Jika sawit tetap dikenakan tarif tinggi atau dianggap sebagai isu lanjutan, daya saing Indonesia akan melemah dan negara pesaing mendapat keuntungan.
Menurut Anggawira, pemerintah sebaiknya bersikap ofensif dalam negosiasi sawit. Posisi sawit harus diakui sebagai produk unggulan nasional, bukan hanya dimasukkan sebagai agenda pembahasan berikutnya dalam perjanjian bilateral.
Pengecualian Tarif untuk Produk Hilirisasi
Pengusaha berharap pengecualian tarif tidak hanya berlaku untuk produk mentah, tetapi juga untuk turunan sawit dan produk manufaktur berbasis sumber daya lokal. Hal ini penting untuk mendukung industri padat karya dan proses hilirisasi pemerintah.
Tarif 19% yang diterapkan merata tanpa pengecualian dapat menekan agenda hilirisasi. Tanpa kepastian, dunia usaha menghadapi risiko meningkatnya biaya, penurunan ekspor, dan relokasi industri ke negara dengan akses pasar lebih kompetitif.
Strategi Ekonomi Jangka Panjang
Anggawira menekankan bahwa negosiasi tarif harus dipandang sebagai strategi ekonomi jangka panjang. Kesepakatan yang jelas dan legal secara permanen penting agar pengusaha dapat merencanakan produksi dan ekspor tanpa risiko mendadak.
Pemerintah diharapkan dapat menegosiasikan perlindungan konkret bagi CPO dan komoditas ekspor lainnya. Dengan demikian, industri nasional tetap kompetitif, lapangan kerja terjaga, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan bisa tercapai.