Rabu, 22 Oktober 2025

Harga Minyak Dunia Terus Tertekan Akibat Perang Dagang dan Potensi Banjir Pasokan Global

Harga Minyak Dunia Terus Tertekan Akibat Perang Dagang dan Potensi Banjir Pasokan Global
Harga Minyak Dunia Terus Tertekan Akibat Perang Dagang dan Potensi Banjir Pasokan Global

JAKARTA - Harga minyak mentah dunia kembali tergelincir tajam pada perdagangan Senin, 20 Oktober 2025, menyentuh titik terendah sejak awal Mei. Pelemahan ini dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap potensi kelebihan pasokan global yang mulai membayangi industri energi.

Kondisi pasar yang semula diwarnai isu kekurangan suplai kini berubah drastis menjadi kekhawatiran akan banjir pasokan minyak mentah. Penurunan ini juga diperparah oleh memanasnya kembali hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara yang menjadi konsumen minyak terbesar di dunia.

Harga Brent dan WTI Terpukul, Pasar Masuki Fase Contango

Baca Juga

Pemerintah dan Industri Energi Bersatu Dorong Target PLTS 100 GW untuk Indonesia Hijau

Harga minyak Brent ditutup melemah 28 sen atau sekitar 0,46%, menjadi US$ 61,01 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) dari AS turun 2 sen atau 0,03%, ke level US$ 57,52 per barel.

Kedua acuan minyak ini sempat jatuh lebih dari US$ 1 di awal sesi perdagangan dan akhirnya ditutup di posisi terendah sejak Mei 2025. Pelemahan beruntun selama tiga minggu terakhir menandai tekanan kuat yang belum juga mereda dari sisi fundamental maupun sentimen global.

Struktur kontrak berjangka Brent kini memperlihatkan pola contango, yaitu kondisi di mana harga pengiriman jangka pendek lebih rendah dibanding harga kontrak jangka panjang. Pola ini biasanya muncul saat pasar memperkirakan akan terjadi kelebihan pasokan di masa depan.

Fenomena contango mendorong para pelaku pasar menyimpan minyak dalam tangki atau kapal untuk dijual kembali ketika harga naik. Struktur serupa juga terjadi pada kontrak WTI, yang untuk pertama kalinya kembali memasuki pola contango sejak Januari 2024.

Kekhawatiran Banjir Pasokan dan Proyeksi Surplus Energi Tahun 2026

Kondisi contango yang muncul sejak pertengahan Oktober memperkuat kekhawatiran pelaku pasar bahwa dunia sedang menuju fase kelebihan suplai baru. John Kilduff, Partner di Again Capital, menilai pasar mulai diliputi ketakutan akan banjir pasokan minyak menjelang tahun 2026.

Menurutnya, aktivitas penyimpanan minyak di laut maupun di darat mulai meningkat karena banyak pihak memprediksi permintaan tidak akan tumbuh secepat produksi. “Kita akan mulai melihat peningkatan penyimpanan minyak di tangki-tangki darat maupun kapal laut. Ini adalah sentimen bearish yang belum muncul cukup lama,” ujarnya.

Tekanan tambahan datang setelah International Energy Agency (IEA) memperkirakan adanya surplus pasokan besar pada tahun 2026. Prediksi ini semakin memperburuk pandangan pasar terhadap prospek harga minyak dalam jangka menengah.

Pada pekan sebelumnya, kedua acuan minyak sudah jatuh lebih dari 2%, mencatat penurunan mingguan ketiga berturut-turut. Kondisi ini menandakan lemahnya permintaan global di tengah potensi peningkatan produksi dari berbagai negara penghasil minyak utama.

Perang Dagang AS–China Kembali Memanas dan Ganggu Pasar Energi

Selain faktor suplai, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memperburuk sentimen pasar minyak dunia. Kedua negara saling memberlakukan biaya tambahan terhadap kapal kargo yang melintas di antara keduanya, memperburuk arus perdagangan global.

Langkah saling balas ini dikhawatirkan dapat menekan permintaan minyak karena berpotensi memperlambat aktivitas industri dan transportasi di kedua negara. Kepala World Trade Organization (WTO) bahkan telah memperingatkan bahwa pemisahan ekonomi AS dan China bisa memangkas output ekonomi global hingga 7% dalam jangka panjang.

Sejumlah perusahaan besar AS seperti Amazon, Oracle, dan ExxonMobil melalui kelompok lobi bisnis mendesak Presiden Donald Trump untuk menangguhkan aturan ekspor baru yang dinilai menghambat miliaran dolar potensi perdagangan. Mereka menilai kebijakan tersebut hanya akan mempercepat China mengalihkan rantai pasoknya ke negara lain.

Tekanan Tambahan dari Rusia dan Produksi Minyak AS

Ketidakpastian juga masih membayangi pasokan minyak dari Rusia, terutama setelah Presiden Trump menegaskan akan mempertahankan tarif besar terhadap India bila negara itu tidak menghentikan impor minyak dari Rusia. Kebijakan tersebut dapat memperburuk ketidakseimbangan suplai global dan menambah tekanan pada harga minyak dunia.

Dari sisi produksi, perusahaan-perusahaan energi di AS justru menambah jumlah rig pengeboran untuk pertama kalinya dalam tiga minggu terakhir, menurut data dari Baker Hughes. Peningkatan aktivitas pengeboran ini mengindikasikan potensi bertambahnya produksi minyak mentah AS dalam waktu dekat.

Analis dari Gelber and Associates menilai bahwa saat ini pasar sedang berada dalam fase campuran antara masa perawatan kilang, margin produk yang menurun, dan fokus terhadap data persediaan minyak mentah mingguan. Semua faktor ini memperkuat sinyal bahwa pasar masih dalam tekanan berkelanjutan.

Persediaan Minyak AS Diperkirakan Naik, Tekan Harga Lebih Dalam

Jajak pendapat awal Reuters memperkirakan persediaan minyak mentah AS meningkat sekitar 1,5 juta barel pada pekan yang berakhir 17 Oktober 2025. Kenaikan stok ini semakin menambah tekanan terhadap harga, terutama di tengah sentimen oversupply yang kian dominan di pasar global.

Dengan meningkatnya cadangan minyak di Amerika, pasar global berpotensi kembali dibanjiri pasokan. Kondisi ini akan membuat harga minyak sulit untuk pulih dalam waktu dekat, apalagi jika permintaan dari sektor industri dan transportasi belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Secara keseluruhan, kombinasi antara surplus pasokan, pelemahan permintaan, dan ketegangan geopolitik menjadi faktor utama yang menekan harga minyak dunia saat ini.

Prospek Harga Minyak: Antara Risiko dan Harapan Pemulihan

Meski tekanan masih kuat, sebagian analis menilai penurunan harga minyak ini bisa menjadi fase konsolidasi sementara sebelum harga berbalik arah. Mereka melihat potensi pemulihan jika ada pemangkasan produksi oleh OPEC+ atau penurunan signifikan pada cadangan minyak AS dalam beberapa minggu mendatang.

Namun, jika tensi dagang AS–China terus meningkat dan produksi AS tetap bertambah, harga minyak berisiko terjebak di bawah US$ 60 per barel hingga akhir 2025. Situasi ini membuat pasar minyak global masih sangat rentan terhadap guncangan baru dari sisi politik maupun ekonomi.

Untuk saat ini, pelaku pasar masih menunggu langkah-langkah konkret dari OPEC, Rusia, dan Amerika Serikat untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan permintaan global agar harga minyak tidak terus merosot lebih dalam.

Nathasya Zallianty

Nathasya Zallianty

wartaenergi.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Bahlil Pastikan Program BBM Campur Etanol Segera Dimulai, Target 2027 Jadi Momentum Swasembada Energi Nasional

Bahlil Pastikan Program BBM Campur Etanol Segera Dimulai, Target 2027 Jadi Momentum Swasembada Energi Nasional

Harga BBM Pertamina Oktober 2025 Tetap Stabil, Pertalite Masih Rp10.000 per Liter

Harga BBM Pertamina Oktober 2025 Tetap Stabil, Pertalite Masih Rp10.000 per Liter

PT Bukit Asam Kunci 800 Juta Ton Batu Bara untuk Hilirisasi Energi Nasional

PT Bukit Asam Kunci 800 Juta Ton Batu Bara untuk Hilirisasi Energi Nasional

Mega Proyek Nikel Luwu Timur Bernilai Rp100 Triliun Siap Ubah Wajah Ekonomi Sulsel

Mega Proyek Nikel Luwu Timur Bernilai Rp100 Triliun Siap Ubah Wajah Ekonomi Sulsel

Tarif Listrik PLN Oktober 2025 Resmi Diumumkan, Ini Rinciannya untuk Semua Golongan

Tarif Listrik PLN Oktober 2025 Resmi Diumumkan, Ini Rinciannya untuk Semua Golongan